Sejarah
berdirinya kota sibolga tidak dapat lepas dari sejarah kota barus
sebagai pelabuhan untuk mengambil hasil alam berupa KAPUR BARUS...
Barus dapat ditempuh sekitar 2jam dari Sibolga. Sekarang kota barus
hanya lah kota kecil yang tak bergairah secara ekonomi dan dinamika
penduduk yang monoton. mayoritas penduduknya menjadi perantau. bila anda
singgah ke kota barus anda hanya akan melihat desa "biasa"
AKHIR PERJALANAN KOTA BARUS
BARUS,
sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara.
Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya sangat tua, setua ketika
kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur
barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama
dikenalkan ke seluruh Nusantara.
BARUS
atau biasa disebut Fansur barangkali satu-satunya kota di Nusantara
yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh
literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani,
Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa.
Berita
tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan
oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang
gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada
abad ke-2.
Di
peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar
niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur
barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari
Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman
kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun sebelum
Masehi.
Berdasakan
buku Nuchbatuddar tulisan Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah
awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks
pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh
Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya
komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.
Dewan
Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di
daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan
tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini.
Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada
abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.
Penggalian
arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dan kawan-kawannya dari
Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerja sama dengan
peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua, Barus,
membuktikan pada abad IX-XII perkampungan multietnis dari suku Tamil,
China, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan
sebagainya juga telah ada di sana. Perkampungan tersebut dikabarkan
sangat makmur mengingat banyaknya barang-barang berkualitas tinggi yang
ditemukan.
Pada
tahun 1872, pejabat Belanda, GJJ Deutz, menemukan batu bersurat tulisan
Tamil. Tahun 1931 Prof Dr K A Nilakanta Sastri dari Universitas Madras,
India, menerjemahkannya. Menurutnya, batu bertulis itu bertahun Saka
1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai
wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan
tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua
yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan
lainnya.
Namun,
Lobu Tua yang merupakan kawasan multietnis di Barus ditinggalkan secara
mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12 sesudah kota tersebut
diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi.
"Berdasarkan
data tidak adanya satu benda arkeologi yang dihasilkan setelah awal
abad ke-12. Namun, para ahli sejarah sampai saat ini belum bisa
mengidentifikasi tentang sosok Gergasi ini," papar Lucas Partanda
Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan.
Setelah
ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni
oleh orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini.
Situs Bukit Hasang merupakan situs Barus yang berkembang sesudah
penghancuran Lobu Tua.
Sampai
misi dagang Portugis dan Belanda masuk, peran Barus yang saat itu telah
dikuasai raja-raja Batak sebenarnya masih dianggap menonjol sehingga
menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa tersebut. Penjelajah Portugis
Tome Pires yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat
Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur.
"Kami
sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu,
yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya
Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera
namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,"
demikian catatan Pires.
Tahun
1550, Belanda berhasil merebut hegemoni perdagangan di daerah Barus.
Dan pada tahun 1618, VOC, kongsi dagang Belanda, mendapatkan hak
istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan
kepada bangsa China, India, Persia, dan Mesir.
Belakangan,
hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir.
Dan sepak terjang Belanda juga mulai merugikan penduduk dan raja-raja
Barus sehingga memunculkan perselisihan. Tahun 1694, Raja Barus Mudik
menyerang kedudukan VOC di Pasar Barus sehingga banyak korban tewas.
Raja Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa kemudian ditangkap
Belanda, lalu diasingkan ke Singkil, Aceh.
Perlawanan
rakyat terhadap Belanda dilanjutkan di bawah pimpinan Panglima Saidi
Marah. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kemudian mengirim perwira
andalannya, Letnan Kolonel Johan Jacob Roeps, ke Barus. Pada tahun 1840,
Letkol Roeps berhasil ditewaskan pasukan Saidi Marah, yang bergabung
dengan pasukan Aceh dan pasukan Raja Sisingamangaraja dari wilayah utara
Barus Raya.
Namun,
pamor Barus sudah telanjur menurun karena saat Barus diselimuti
konflik, para pedagang beralih ke pelabuhan Sunda Kelapa, Surabaya, dan
Makassar. Sementara, pedagang-pedagang dari Inggris memilih mengangkut
hasil bumi dari pelabuhan Sibolga.
Barus
semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada permulaan
abad ke-17. Kerajaan baru tersebut membangun pelabuhan yang lebih
strategis untuk jalur perdagangan, yaitu di pantai timur Sumatera,
berhadapan dengan Selat Melaka.
Pesatnya
teknologi pembuatan kapur barus sintetis di Eropa juga dianggap sebagai
salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada
awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi
yang terpencil.
Kehancuran
Barus kian jelas ketika pada tanggal 29 Desember 1948, kota ini
dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena Belanda yang
telah menguasai Sibolga dikabarkan akan segera menuju Barus.
>small 2small
0<, Barus yang berjarak 414 km dari Medan benar-benar dilupakan.
Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai
timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di
Batam dan Medan.
Dominasi
pembangunan pantai timur ini bisa dilihat pengiriman hasil bumi dari
pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk
kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan.
Sedangkan
untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat
Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih
baru seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus
sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan.
Kini,
Barus tak lebih dari kota kecamatan lain di daerah pinggiran yang
hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian warganya
meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar