SIBOLGA,
Sebuah pemukiman, berada dikawasan Teluk TAPIAN NAULI, Pantai Barat
Sumatera Utara. Alamnya Indah, Teluknya luas, Lautnya Dalam dan Tenang,
sehingga strategis menjadi persinggahan para Pelaut untuk berlabuh.
Air Jernih untuk kebutuhan Kapal cukup tersedia dari Sungai dan Air
Terjun yang banyak terdapat disekitar Teluk.
Pulau-pulau yang terhampar didepannya menjadi penyangga ombak dan gelombang dari Lautan lepas Samudera Hindia.
Kawasan Teluk Tapian Nauli berkembang menjadi daerah transit kesegala
jurusan, baik kepedalaman atau ke Pulau-pulau di Nusantara dan ke
Daerah Luar Indonesia. Kondisi ini mendorong cepatnya pertumbuhan
kehidupan dengan adanya perdagangan antara penduduk Pribumi dengan
pendatang dari luar, Eropah dan Asia.
Ramai dan sibuknya perdagangan diteluk ini menimbulkan persaingan yang
sering mengakibatkan lahirnya peperangan, terutama oleh orang-orang
Eropah yang memaksakan kehendaknya melalui sistem monopoli dalam
pembelian rempah-rempah untuk memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
Kapal-kapal Dagang banyak berlabuh di Teluk Tapian Nauli dan melakukan
Jual-beli dengan penduduk negeri serta penduduk dari daerah tetangga.
Percepatan pertumbuhan daerah ini berlangsung dalam kurun waktu yang
tidak begitu lama. Selanjutnya Sibolga dan Kawasan Teluk Tapian Nauli
segera mendapat status sebagai Ibu Kota Kresidenan Tapanuli mulai dari
zaman Kolonial sampai dengan zaman Kemerdekaan. Status yang tertinggi,
dan pernah di Sandang Kota ini adalah bahwa Sibolga pernah menjadi Ibu
Kota Propinsi Tapanuli dan Sumatera Timur pada tahun 1950 – 1951.
Rangkaian Sejarah panjang terukir di Daerah ini dalam menghadapi
Penjajah untuk mempertahankan kepentingan negeri dan NKRI. Bahkan dalam
pembentukan Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI), Sibolga mempunyai
peranan penting karena semangat juang yang dimiliki oleh para
Warganya.
Hal ini dibuktikan melalui sejarah tentang terjadinya Perang Laut yang
dahsyat diperairan Sibolga antara TRI – ALRI dan Lasykar Rakyat bersatu
menghadapi Kapal Perang Belanda HMS Bankert yang populer disebut YT-1.
Semangat Persatuan dalam kebersamaan dan kerukunan persaudaraan tetap
terjalin, walaupun Masyarakatnya terdiri dari berbagai Suku, Etnis,
Bangsa dan Agama yang lazim disebut sebagai “ Negeri berbilang KAUM ”.
Keadaan ini tetap terpelihara dan berwujud dalam berbagai aspek
kehidupan sampai dengan sekarang ini.
Demikian juga halnya dibidang perekonomian dan Pendidikan. Sibolga
pernah mencatat sejarah kesuksesannya yang dilakukan oleh Penduduk
Negeri bersama Para Pendatang.
Tidak sia–sia Pendiri Sibolga memilih kawasan ini menjadi tempat
pemukiman sekaligus menjadi benteng pertahanan melawan Penjajah serta
menjadikan Negeri ini menjadi perekat Kerukunan antar Ummat beragama
yang Damai dalam Pergaulan serta Persaudaraan.
Jauh sebelum Sibolga berdiri sudah banyak penduduk yang bermukim
disekitar Pantai Barat Sumatera Utara yang lazim disebut daerah pesisir
antara lain di Barus, Sorkam, Jago-jago, Singkuang dan Natal, sedangkan
dikawasan Teluk Tapian Nauli pemukiman penduduk sudah ada disekitar
Pargadungan dan Poriaha.
Masyarakat dari Daerah Batak Toba banyak yang datang ke Daerah Pesisir
ini, untuk berdagang secara barter. Mereka membawa hasil pertanian dan
hasil hutan, untuk selanjutnya ditukar dengan Garam dan Hasil Laut yang
diperoleh mereka dari daerah pesisir. Mereka memikul sendiri
barang-barang yang dibawanya, dalam Bahasa Batak disebut “ Marlanja “
sehingga kelompok ini terkenal dengan sebutan “ Parlanja Sira “ ( Tukang
pikul Garam ).
Kehidupan ini berlangsung secara rutin dengan rute perjalanan yang
ditempuh dari Batak Toba menuju Aek Raisan, sampai ke Rampah masuk ke
Poriaha dan ke Pulau Porlak hingga ke Pulau Mursala yang dikenal pada
saat itu sebagai tempat memasak Garam.
Sekitar tahun 1514 – 1524 terjadi gejolak antara Aceh dengan Batak
dibagian Timur Sumatera Utara. Keadaan ini mengundang orang Batak Toba
semakin banyak datang ke Pesisir Barat Sumatera Utara, terutama dari
Daerah Silindung Tapanuli Utara, rute perjalanan adalah dari daerah
Silindung menuju Aek Raisan terus ke Bonandolok menuju Meladolok hingga
ke Mela dan sampai di Pulau Poncan.
Makin lama daerah Teluk Tapian Nauli semakin sibuk dan semakin ramai
oleh kegiatan jual-beli rempah dan hasil Hutan dengan pedagang dari
Eropah. Arab, India dan Cina demikian juga halnya Kapal-kapal Dagangpun
semakin banyak singgah di daerah Teluk Tapian Nauli.
Pada saat itulah OMPU DATU HURINJOM HUTAGALUNG dari daerah Silindung
membuka pemukiman baru disekitar Simaninggir Bonan Dolok sekitar 10 KM
dari sebelah Utara Kota Sibolga yang ada sekarang ini. Dari tempat ini
sesuai dengan sebutan namanya Simaninggir (mudah memantau) terlihat
pemandangan yang sangat Indah dan sangat Luas ke daerah Laut dan Pantai
sehingga sangat mudah untuk memantau keadaan.
Akhirnya daerah ini menjadi tempat persinggahan Parlanja Sira untuk
melepaskan lelah dan kadang kala bermalam ditempat ini. Jika Parlanja
Sira hendak singga di Simaninggir mereka tidak pernah menyebut tempat
itu dengan sebutan nama pemiliknya karena, tabu bagi orang Batak
menyebut nama langsung seseorang yang dituakan atau dihormati, melainkan
disebut dengan gelar kebesaran atau kehormatan sehingga menyampaikan
dengan Kalimat “ BETA HITA SINGGA TU INGANAN NI SI BALGA I “ ( Ayo kita
singga ketempat orang Besar itu ).
Hal ini karena perawakan pisik Ompu Datu Hurimjon Hutagalung berbadan
besar dan tinggi dengan Kharisma Spritual. Anak-anaknya juga
berperawakan yang sama dengan beliau sehingga salah satu anaknya diberi
nama Raja Ompu Timbo.
Karena ulah Kolonial Belanda penduduk pribumi melakukan pemberontakan
didaerah pesisir Barat Sumatera Utara, dari tahun 1675 – 1678 maka Ompu
Datu Hirinjom bersama anaknya Raja Ompu Timbo memindahkan pemukimannya
ke MelaDolok kemudian ke daerah lereng dan bukit Simare-mare sehingga
rute perjalanan Parlanja Sira beralih dari Silindung menuju Aek Raisan
terus ke Simaninggir ke Mela Dolok terus ke Simare-mare menuju Pulo
Rembang hingga ke Pulo Poncan, namun demikian julukan Si Balga tetap
menjadi sebutan oleh Parlanja Sira apabila ingin melepaskan lelah
walaupun pemukiman Ompu Datu Hurinjom bersama anaknya telah berada
disekitar Mela Dolok.
Karena Persaingan dagang di Teluk Tapian Nauli semakin tinggi maka Raja
Luka anak Raja Ompu Timbo mulai mengembangkan wilayah pemukiman ke
daerah Pantai disekitar Sungai Aek Doras yaitu kawasan Kantor Pos dan
Gedung Nasional yang ada pada saat ini. Keberanian Raja Luka menerobos
dan mendorong pengembangan pemukiman kearah pantai dalam situasi komplik
disekitar Pantai Teluk Tapian Nauli merupakan lambang keberanian dan
kegagahan yang luar biasa, sehingga beliau mendapat julukan Tuanku
Dorong. Suatu gelar kehormatan bagi pemimpin yang membela negerinya.
Gelar tersebut melekat pada Raja Luka sedangkan pengembangan pemukiman
dan wilayah ke arah pantai tetap disebut dengan nama “ Si
Balga “. Atau SI BOLGA
Pembukaan secara resmi tempat ini menjadi pemukiman berlangsung pada
tanggal 2 April 1700 dan sebagai mana lazimnya orang Batak membuka
pemukiman/Kampung yang baru selalu dilengkapi dengan Raja, Pangulima dan
Datu.
Nama Sibolga menjadi populer untuk pemukiman baru ini walaupun pernah
berobah-obah menurut dialek orang yang mengucapkannya bila orang Batak
mengucapkannya SI BALGA atau SI BOLGA, sedangkan orang Pesisir
mengucapkannya SIBOGA sementara orang Belanda dan Inggris mengucapkannya
SIBOUGAH, sedangkan orang Jepang mengucapkannya dengan SIBARUGA karena
orang Jepang susah menyebutkan huruf L
SIBOLGA DALAM PEMBENAHAN
Pada saat Parlanja Sira dari Batak Toba datang ke wilayah Teluk Tapian
Nauli kegiatan perdagangan sudah ada dan berlangsung di Daerah ini
berpusat di Pulau Poncan Ketek. Di Pulau inilah tempat berlabuhnya
Kapal-kapal Dagang sementara yang menguasai Pulau Poncan silih berganti
antara Belanda dan Inggris. Pada Tahun 1755 Inggris mengusir Belanda
dari Pulau Poncan Ketek, lalu mendirikan Benteng pertahanan dan
Pemerintah Inggris dengan mengangkat seorang Datuk yang bernama DATUK
ITAM yang dibawa dari Bengkulu untuk membantu dalam urusan Pasar dan
membawahi Pangulu Jambur atau Etnik yang ada di Pulau Poncan. Datuk ini
terkenal dengan sebutan Datuk Itam dan dikenal pula dengan sebutan
Datuk Pasar, sesuai dengan Jabatannya.
Dalam menata hubungan Raja Sibolga dengan Tetangga John Prince Residen
Inggris meminta agar diadakan Perjanjian Bersama antar Raja-raja dengan
Residen terutamadalam mengatasi perselisihan, dan penataan
Pengembangan Wilayah. Perjanjian ini disebut Perjanjian TIGO BA DUSANAK
berlangsung pada tanggal 11 Maret 1815. Perjanjian ini dilakukan antara
Raja-raja di Teluk Tapian Nauli dengan Raja-raja di daerah Tetangga.
Pada pokoknya isi perjanjian tersebut menyangkut penataan hidup
berdampingan antara Raja-Raja di TeLuk. Jika terdapat perselisihan
antara Raja dengan Raja, maka Raja yang ketiga menjadi penengah. Kalau
terdapat jalan buntu, baru dihadapkan kepada Residen. Perjanjian
tersebut adalah menyangkut apabila terjadi perselisihan antara Raja
dengan Raja lain, maka Raja yang ke tiga menjadi penengah, dan kalau
terdapat jalan buntu baru dihadapkan kepada Residen.
Khusus kepada Raja Sibolga ditugaskan untuk meramaikan Negerinya. Pada
dasarnya Perjanjian ini sangat banyak membantu John Prince sebagai
Residen terutama dalammengahadapi Penduduk Pribumi tetapi Perjanjian ini
juga merupakan langkah awal bagi Raja-raja didaratan melakukan
hubungan baik sesama mereka.
Sesuai dengan isi Traktak London 1824 maka pada tanggal 9 Pebruari 1825
Inggris menyerahkan Poncan Ketek kepada Belanda dan selama dalam
penguasaan Belandadaerah ini tidak pernah tenteram selalu timbul
huruhara di Laut dan di Daratan, karena Penduduk Negeri sering tidak
senang dengan perlakuan Belanda.
Untuk membantu perlawanan Penduduk Negeri di Pantai Barat Sumatera
Utara Raja Sibolga pernah mendapat bantuan Pasukan dari Anak yang di
Pertuan Agung Raja Pagaruyung demikian juga Raja Sibolga pernah
mengirimkan anaknya yang bernama Sutan Amir Husin Hutagalung ke Bonjol
untuk membantu Panglima Imam Bonjol pada Perang Bonjol melawan Belanda
pada tahun 1825 di sana anak Raja Sibolga tersebut mendapat gelar
kehormatan dan diangkat sebagai SUTAN SAMAN.
Belanda sangat kewalahan menghadapi berbagai kerusuhan antara lain
Perampokan di Laut maupun di Darat yang dilakukan oleh orang yang
bernama SI SONGE ( yang menakutkan ) dan puncak malapetaka yang dihadapi
Belanda adalah pada tanggal 14 Desember 1829 Marah Sidi melakukan
penyergapan Malam ke Poncan Ketek dengan menghancurkan semua pertahanan
Belanda di Pulau tersebut.
Akhirnya penduduk berangsur-angsur meninggalkan Poncan Ketek berpindah
ke daratan Sibolga dan tahun 1848 Pulau Poncan Ketek di kosongkan dan
Pusat Pemeintahan Militer Belanda di Pindahkan ke Sibolga.
Penduduk Sibolga menjadi ramai dengan pendatang baru lahan kering untuk
pemukiman sudah habis, untuk mengatasi penyediaan lahan Raja Sibolga
menyetujui penimbunan rawa-rawa serta pembuatan parit ke arah Timur dan
Selatan Sibolga, lahan baru dimaksud dipersiapkan untuk para pendatang
termasuk penduduk yang pindah dari Poncan Ketek.
Hal ini sangat jelas tergambar dari syair yang sangat akrab dikumandangkan dalam Sikambang yang berbunyi :
“ SIBOGA JOLONG BASUSUK BANDA DIGALI URANG RANTAI “
Akhirnya penduduk Sibolga bertambah terus, diramaikan oleh Para
Pendatang dari berbagai Suku, Etnik dan Bangsa, maka pada tanggal 1
Maret 1851 dilakukanlah pembinaan Masyarakat oleh Raja Sibolga bersama
Conperus Residen Tapanuli yang menyangkut tentang penetapan Adat yang
berlaku di Sibolga dan menunjuk Raja Sibolga sebagai Pemangku ADAT, dan
penetapan tugas masing-masing Datuk untuk urusan Pasar dan Belasting
Pangulu untuk urusan Suku dan Etnis sedangkan Kepala Kuria membawahi
Kepala Kampung.
Dalam hal ini sebait Pantun yang lazim dan akrab di telinga orang Pesisir Sibolga yang berbunyi :
“ JANGAN TA KAPAK KAPAK, KINI KAPAK PAMBALAH KAYU
JANGAN TA BATAK BATAK, KINI BATAK ALA JADI MALAYU “
Semenjak itu Sibolga menjadi Pusat Pemerintahan dengan Luas Wilayah
yang bervariasi sejak terbentuknya sampai sekarang dan menurut catatan
Sejarah Sibolga sebagai tempat Pemukiman tetap menerima beban tugas
sebagai IBU KOTA PUSAT PEMERINTAHAN. Jenjang Jabatan Pemerintahan yang
pernah berkedudukan di Sibolga adalah sebagai berikut :
1. Raja merupakan Penguasa Wilayah dalam Sistim Pemerintahan Tradisional
2. Datuk sebutan kepada orang yang mengurus Pasar, memungut Belasting dan Pajak
3. Pangulu orang yang ditugasi untuk mengurus atau memimpin Suku atau Etnis
4. Kepala Kampung sebutan kepada orang yang mewakili Pemerintahan dibawah Kuria.
5. Kuria sebutan pengganti istilah Raja oleh Belanda yang bertugas membawahi Kepala Kampung.
6. Koeriahoofd sebutan untuk Kepala Kuria
7. Demang sebutan untuk yang membawahi Kuria
8. Kontroler sebutan untuk orang yang mengatur Onderafdeeling ( Kecamatan )
9. Asisten Residen orang yang bertugas sebagai Wakil Residen dalam mengurus Wilayah setingkat Affdeeling/Kabupaten
10. Residen sebutan untuk Kepala Pemerintahan tingkat Residen ( Propinsi )
11. BUNSYU orang yang ditugasi memimpin Affdeeling pada Zaman Jepang
12. SITYOTYO orang yang ditugasi memimpin Pemerintahan Kota
13. BUPATI orang diserahi untuk memimpin Pemerintahan Kabupaten bermula
Kabupaten Sibolga, beralih menjadi Kabupaten Tapanuli Tengah
14. Walikota orang yang diserahi untuk memimpin Kotapraja kemudian
beralih menjadi Kota Madya dan selanjutnya sekarang disebut KOTA.
15. GUBERNUR orang yang diserahi untuk memimpin Provinsi Tapanuli dan Sumatera Timur.
16. PEMBANTU GUBERNUR orang diserahi untuk memimpin sebagai Pembantu
Gubernur Sumatera Utara untuk Wilayah Pembangunan I Sumatera Utara
“ PONCAN KETEK PONCAN GADANG
DIANTARONYO SI PULO BANGKE
SIBOGA NAN KETEK KITO PAGADANG
SUPAYO HIDUP INDAK MARASE “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar